“Hahaha” Keyna terus berlari mengejar Lulla, sahabatnya.
Entah apa penyebabnya, tapi.. begitulah mereka selalu; menjadikan kejar
mengejar sebagai ritual setiap pagi, sebagai tanda syukur. Mereka masih hidup,
dan dapat berlari mengejar yang dicinta padahal sudah memiliki. Tangga menuju
kelas atas berhasil diterobos, anak-anak tangga yang diinjak terhentak membawa
mereka sampai pada lantai satu. Lulla menoleh. Ah! Keyna masih berapi-api
mengejar.
“Stop!” Lulla berhenti sambil mengangkat tangan kanannya.
Keyna juga berhenti. “Aku nyerah..” lanjut Lulla.
“Don’t walk behind me; I may not lead, Don't walk in front of me; I may not follow. Just walk beside me and be my friend.”
“Don’t walk behind me; I may not lead, Don't walk in front of me; I may not follow. Just walk beside me and be my friend.”
“Albert Camus!” Seru Keyna menambahkan seraya mendekati lalu
merangkul Lulla, dan.. melangkahlah dua Aquarius membuka pagi baru, menuju
tempat biasa; taman belakang sekolah.
“Let’s be friend.. let’s be friend..” Senandung Lulla
terdengar sambil menari-nari kecil.
Tempat ini punya
banyak arti bagi mereka, mulai dari penilaian kecil tentang hidup yang tak
harus dijalani dengan keramaian, tentang sepi yang sebenarnya bagus untuk
kesehatan, tentang seberapa kuat manusia harus menahan rindu berbicara bersama,
dan seberapa lama Keyna dan Lulla tahan dengan sunyi. Tempat ini bukan pilihan
untuk belajar sesuatu yang berharga, tapi.. tempat ini memang satu-satunya
pilihan yang memang harus dipilih dan harus mereka jumpai setiap pagi. Jarang
ada yang mengerti tentang kesunyian disini, mungkin beberapa murid lain lebih
memilih arena ramai seperti kelas, kantin, lapangan basket, ruang teater, UKS,
atau bahkan koridor sekolah dibanding tempat indah namun sepi seperti taman,
taman sekolah.
Lulla mendekat ke
telinga Keyna, hendak membisikkan satu hal, tak boleh ada suara keras disini. “Dadaku
sesak, kamu mau antar aku ke kelas?”
“Ha? Lulla aku mau
kok..” o tidak! Keyna hampir lupa, tak
boleh ada suara keras disini. Lulla cepat-cepat menempelkan telunjuknya pada
bibir tipis Keyna. “Maaf, ke UKS lebih baik”
“Sesakku tidak
separah yang kamu bayangkan..”
“Tapi, kelas bukan
yang kamu butuhkan”
***
“Jadi intinya, kamu bisa mengerti hidup apabila kamu amat menyadari
bahwa jiwamu penuh seni..” jelas Bu Eva seraya membenarkan kacamatanya yang
kerap kali turun ke batang hidung. “Ada yang bisa memberikan satu pengertian
seni dari satu tokoh?”Ajeng meluruskan pandangan, mengangkat tangan, lalu berdiri setelah Bu Eva mengangguk. “seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan dan sifat indah, sehingga menggerakkan jiwa perasaan manusia- Ki Hajar Dewantara.”
Senyum Bu Eva mengembang, Julian tertarik menyebutkan satu kutipan favoritnya terhadap seni, “seni adalah segala usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan, tiap orang senang dengan seni musik meskipun seni musik adalah seni yang paling abstrak.”
“Siapa pencetusnya, Ju?” Tanya Bu Eva.
Yang ditanya malah menggigit bibir bawahnya.
“Schopenhauer..” Keyna membantu.
“Assalamualaikum, permisi Bu..” Sapa seorang murid dari balik pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
“Waalaikumsalam..” Semua murid menjawab, tidak terkecuali Keyna.
Murid berkulit hitam legam itu mendekat ke arah Bu Eva, dan berbicara sedikit pelan bermaksud agar tidak terlalu mengganggu proses belajar anak-anak kelas Sembilan B.
“Silakan, salam untuk dia ya, Badu..” Ucapan Bu Eva menggetarkan telinga Keyna, pandangannya
mengikuti tubuh Badu yang mendekati bangku Lulla.
“Lulla kenapa?” Cemas mendominasi wajahnya.
“Dia dijemput sama mamanya, mau dibawa ke rumah sakit” Katanya seraya menggapai tas Lulla dan meninggalkan tubuh kaku Keyna yang baru mendengar kabar tak biasa itu.
***
“Sesakku tidak separah yang kamu bayangkan..” Suara hujan yang menderas di hadapannya tak
sama sekali memotong perkataan Lulla yang terus terulang di telinganya, terlalu
mustahil. Bahkan lebih mustahil dari tubuhnya yang hingga kini masih berada di
bawah atap depan ruang teater. Pukul 17.00 tidak lagi terlalu sore untuknya,
tapi.. terlalu pagi untuk khawatir dengan keadaan Lulla yang rasa-rasanya masih
tersenyum riang jam sepuluh tadi. Meski begitu, ia tak membiarkan pandangannya
kosong, ditatapnya rintik-rintik hujan yang
jatuh seakan satu per satunya berebut lebih dulu untuk sampai ke tanah.
jatuh seakan satu per satunya berebut lebih dulu untuk sampai ke tanah.
“Dert..”
Pintu teater terbuka, ada sosok lelaki dengan tangan kosong yang tersentak akan
kehadiran Keyna di depan. Senyum syukurnya mengembang, meminta air hujan
berhenti turun, meminta air hujan naik saja lagi untuk menyampaikan terima
kasihnya pada Tuhan. Sekarang, Keyna yang terkejut akan kehadiran lelaki itu,
buru-buru ia membuang wajahnya yang merah, memangkas hatinya yang terlalu
tinggi beterbangan. Dia dan dia. ‘Dia’ yang wajahnya selalu menjadi bayangan
pengantar tidur untuk Kaleon, dan.. ‘Dia’ yang tiga hurufnya sering menjadi
inspirasi dongeng sebelum tidur yang Keyna ciptakan untuk Lulla, Keyna sering
menyebut ‘Dia’, ‘Pangeran Tiang’. Postur tubuhnya yang tinggi bagai tiang
selalu membuat Keyna harus menjinjit dan berusaha telat datang pada upacara
bendera, agar ia hanya tinggal menoleh ke samping untuk melirik. Meski kadang
sulit, di akhir upacara, Keyna selalu mendapat protes,
“Mengapa kamu telat? Badanmu kan harusnya baris di depan! Aku jadi ketahuan gak pakai sabuk sama Pak Gunawan.”
“Mengapa kamu telat? Badanmu kan harusnya baris di depan! Aku jadi ketahuan gak pakai sabuk sama Pak Gunawan.”
Hening masih
mewarnai udara di antara mereka, dua orang yang saling jatuh cinta, dan
mempunyai kesamaan dalam ketakutan terbesar; Bertepuk sebelah tangan.
‘Ketakutan’ membuat mereka tak membuka mulut di kesempatan pertama, ‘ketakutan’
membuat ‘percakapan pertama’ rasanya terus menjadi sebuah ketidakmungkinan
diantara mereka. Rintik hujan menipis, sisa air-airnya buru-buru turun,
lama-lama hujan menghilang, suasana makin hening, dari situ.. Kaleon memasang
penutup kepala dari jaketnya lalu bergegas pergi, mungkin pulang, atau pergi
untuk memaki dirinya karena sebuah penyesalan terus menghantui. Keyna
menunduk. Menyesal juga, entah menyesal karena mencintai orang yang menurutnya
tak tahu apa-apa, atau menyesal karena terlalu malu untuk memulai percakapan,
entah.
***
“Bu.. Key pulang..” Sapanya seraya membenarkan posisi neon dalam
kaleng yang tergantung.
“Jangan pakai lupa kirim uang ke Bu Sinta buat bayar kontrakan,
bilang sama dia, dua ratus ribu dulu, sisanya besok!”
“Key yang kasih?” Tanyanya takut-takut.
“Ibu mau cari anak kesayangan bapak, selama sakit.. sebut-sebut
Anna melulu, Gak sadar sama penyakit, udah gila, masih aja ingat sama yang
durhaka.” Kata ibu seraya bergegas pergi dan membanting pintu dari luar.
“ANNA!” Seru bapak yang kakinya masih di pasung. Ingin rasanya
memeluk bapak, tapi ada daya? Tubuhnya terlalu takut dipukul bapak.
“Rindu teramat rindu, pada anak semata wayang..” Senandung bapak
yang itu-itu saja, terdengar lagi.
Memang begitu, selama sakit, kehadiran Keyna seolah tak ada,
Keyna seolah tak pernah tercipta. Untungnya ia kuat, jarang ada air mata yang
membasahi pipi, jarang rumah itu penuh tangis, cuma teriakkan dan teriakkan.
“ANNA! ANNA! PULANGLAH NAK!” Bentak bapak seraya melempar botol
kaca ke jendela yang terbuka pintu kecilnya. Prang! Ada korban lagi, bukan.
Bukan jendela rumah Keyna, melainkan… “Mobil Bang Joni!” Seru Keyna.
“BAPAK?” Keyna naik pitam. Kesabaran yang harusnya tak pernah
habis kini malah tak ada lagi dalam dirinya.
Ia mendekat ke arah bapak, bila bapak menampar, ia akan menampar
bapaknya lagi. “Bapak? BAPAK PERNAH ANGGAP KEYNA ADA GAK? APA YANG BAPAK LIHAT
SELAMA INI?” Bentaknya seraya menjatuhkan diri dan mendekatkan wajahnya pada
wajah bapak.
“Tok.. tok.. Keyna, buka pintu lo!” Tanpa dibuka, ketukan bang
Joni yang keras telah membuat pintunya terbuka sendiri.
“KEYNA TAHU BAPAK GAK GILA!” Ia tak sama sekali menghiraukan
kehadiran Bang Joni. “BAPAK BEGINI BIAR BAPAK GAK DITUNTUT KERJA, KAN?”
“Jangan gitu Key, lo harus tanggung jawab sama mobil gue dulu!”
Keyna menoleh dengan geram, “Dengar ya, Bang!” Keyna mendekat,
menarik kerah Bang Joni, air matanya menetes cepat “GUE JUGA TAHU IBU DAN ANNA
SEKARANG LAGI ADA DI RUMAH LO!”
Kata ‘Aku dan Kamu’ yang sering digunakkan Keyna dalam berbahasa
sudah musnah dan berubah menjadi lebih kasar, ia tak bisa mengontrol diri
menjadi lebih sopan, ia lelah dengan semua mendatangnya.
“DRAMA LO HEBAT BANG!” Keyna menangis berteriak sambil
menjatuhkan diri, Ia tak kuasa menahan segala macam drama yang menyiksa
hidupnya. Jiwa Joni menciut, tak tahu apa yang membuat Keyna sebegitu marahnya.
Tiba-tiba tangis Keyna berhenti, tubuhnya terjatuh dari jatuh, Bapak yang
ternyata pura-pura gila terkejut dan berusaha meraih kunci pasungan di samping
kanannya, lalu membukanya. Bapak menghampiri Keyna dengan isak, Joni
menghilangkan diri, entah kemana. Bibir Keyna membiru, wajahnya memutih, sesak
mencekam dadanya, Bapak terus memeluk anaknya, anak yang sebenarnya ia kasihi,
ia cintai.
***
Malam, seperti biasa. Waktu dimana Kaleon dan Nimas menumpahkan
segala keluh maupun kesah yang telah terjadi hari ini.
“Besok hari ulang tahun dia, Mas” Kaleon menyerahkan sebuah
script drama pada kakaknya, Nimas.
Nimas tersenyum haru melihat perubahan adiknya yang begitu pesat
hanya karena kagum pada seorang wanita. “Beruntung banget tuh cewek di kagumin
sama cowok kayak lo, Siapa sih namanya?”
“Keyna..”
“Unik, sama kayak nama lo, jadi? Lo kerja sama sama seluruh
warga sekolah cuma buat besok?”
“Bukan buat besok. Tapi buat dia.”
“Semua orang yang ada di sekolah?” Nimas meyakinkan sekali lagi.
“Termasuk sahabatnya, gue suruh Lulla buat pura-pura sakit gitu,
terus pas pelajaran berlangsung, gue minta izin sama wali kelasnya untuk
rencana ini, biar Lulla sementara pindah kelas ke kelas gue, jadi dia gak
ketinggalan pelajaran plus Keyna benar-benar yakin kalau Lulla sakit dan dibawa
darurat sama mamanya ke rumah sakit.”
“Gila! Canggih benar otak lo.”
“Baru kali ini kak, gue ngerasain hal aneh..”
“Selamat dek, gue senang lo berubah. O ya, jangan bilang lo
sering pulang sore karena..”
“Karena nyiapin drama, tapi hari ini paling sore, soalnya gue
harus rapihin ruang teater sendiri.”
“Yang lain?”
“Gue lebih enjoy rapihin semuanya sendiri, yang lain biar
istirahat aja.”
“Haha, terus, lo ada foto Keyna gak?”
“Ada dong.. ni bentar!” Serunya sambil merogoh ranselnya.
“Widiiii, manis, alisnya tebal, rambutnya keriting, bibirnya
tipis, Cocok yon sama lo.”
Nimas tersenyum, sambil berdoa, semoga Keyna senang dengan
rencana Kaleon.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar