Awalnya, saya merasa perasaan ini cuma hal biasa. Perasaan yang orang lain punya, dan masih berstandar manusiawi. Tapi semakin waktu berjalan kesini, saya baru bisa menyimpulkan bahwa kemarin-kemarin saya sudah mengeluarkan energi tak logis hanya demi hal jatuh cinta. Rumit, tak lupa menguras ekstra energi kesadaran saya, ternyata saya bukan saya yang dulu lagi, yang menaruh hati pada yang satu, yang lain, dan yang lainnya lagi.
Dia. Saya harap segala perlawanan yang berasal dari diri saya sendiri benar, bahwa dia adalah pelabuhan terakhir, entah mengizinkan saya sekadar singgah sebentar, lebih lama, atau justru membiarkan saya menetap di hatinya, hidup tentram, tanpa takut harus kepikiran hiruk piruk kota dengan jutaan konflik crayon, dan berdua, cuma berdua.
Dia. Si Ksatria cuek itu. Kehadirannya yang buat saya jadi suka matematika, dengan selalu menghitung jumlah dan angka pertambahan followers, following, dan tweets-nya tiap menit, (atau jika tak sempat, tiap jam) Bahkan saya juga jadi sering menghitung langkah kakinya. Entah apa jawaban yang harus saya lempar ketika ada yang bertanya untuk apa anda melakukan itu semua? Tapi yang jelas, semua itu cukup mendeskripsikan kenapa saya percaya sekali dengan cinta yang serba matematis.
Salam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar