Selasa, 02 Juli 2013
Karena Dimana Ada Cinta, Disitu Ada Keajaiban
“Apa arti cinta bagi seorang karyawan swasta seperti ayah?”
Dila. Jika kemarin dia memilih ‘mimpi’ untuk santapan pertama telinga ayah, kali ini ia membawa ‘cinta’ sebagai pengisi ritual setiap pagi. Sebagai wujud syukur bahwa mereka masih hidup, mereka masih satu, dan mereka masih bisa berbicara panjang tentang hal apapun yang sedang menarik. Dengan Dila sebagai anak perempuan dan lelaki empat puluh enam tahun berkacamata itu sebagai ayah terhebat. Sedangkan ibu, jarang hadir dalam pertemuan kecil mereka. Ibu lebih sering hadir dalam ruang yang menurut Dila tidak ada. Berangkat kerja saat Dila masih terlelap dan pulang larut malam saat Dila sudah tidur. Ayah sendiri juga bingung, mantan kekasihnya itu sulit ditemukan di sampingnya, padahal dulu ibu bilang bahwa cinta selalu ada, kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun keadaan, sekalipun keadaan itu berbunyi dan mengisyaratkan kita bahwa cinta sedang tidak ada di sini. Ibu tidak membuktikan itu semua, cinta menjadi terbalik, menjadi mustahil. Sesekali ayah bertanya, Dimana rasa yang dulu kamu sebut-sebut cinta itu? tapi ayah tak tahu akan ditanyakan kemana, karena rumput yang bergoyang sekalipun tidak mengerti, ibu lebih sering mengabaikan rumput di depan rumah itu dan pergi menyetir mobilnya sendiri.
Ayah merapikan posisi duduknya. Menjadi tegap, berpandangan lurus kearah Dila. “Cinta itu jalan pulang, Dila. Ruang dimana kita merasakan semua seperti semula, kita berbalik dan kita kembali.”
Dila tepuk tangan. Heboh. Seolah-olah suara ayah barusan adalah pertunjukkan sirkus paling sempurna sedunia. Seperti kita tahu, kita tidak mengerti dan sulit menerka-nerka seberapa lama dan seberapa besar usaha para pemain sirkus untuk menampilkan hasil yang unik, lucu, dan lebih dari sekadar menarik. Akrobat, juggling, sepeda roda satu, aksi trapeze, hebat bukan? Tapi, sebanyak apapun ketidakmengertian kita terhadap sesuatu, akan terhapus juga oleh sebuah kenikmatan yang sebenarnya masih jauh dibandingkan dengan secercah kenikmatan surga. Itulah yang dirasakan Dila barusan, ia tak mengerti apa yang ayah bicarakan dan masih sukar menerjemahkan arti cinta bagi ayah, tapi kedengarannya bagus dan ayah berkata seakan-akan cinta itu sempurna.
“Ayah hebat!”
“Bukankah ayah selalu menjadi yang terhebat?”
“Iya, untukku.”
Ayah tersenyum tipis.
“Kapan pertama ayah bertemu ibu?”
“Saat pulang sekolah, ayah lihat seorang wanita berseragam putih abu-abu, seragam SMU.”
“Dimana?”
“Di jalan panjang menuju rumah. Ketika ayah lihat dia, ayah selalu berlari. Berusaha untuk berada di depannya. Biasanya dia berhenti di depan toko sepatu yang ada di seberang rumah kakek, rumah ayah dulu.”
“Apa yang membuat ayah sebegitu penasaran dengannya?” Dila terus bertanya-tanya, tak lupa sambil mengaduk cokelat hangat yang sudah terlanjur dingin.
“Cinta.”
“Cinta pada pandangan pertama? Memang ada? Memang ayah percaya?”
“Ada, awalnya tidak percaya, karena itu mustahil. Tapi begitu ayah bertemu dengannya, ayah jadi sadar, dalam cinta tidak ada yang mustahil.”
“Kenapa?”
“Karena dimana ada cinta, di situ ada keajaiban.”
“Bagaimana bisa?”
Ayah mengulang sekali lagi, “Karena dimana ada cinta, di situ ada keajaiban.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar