Selasa, 02 Juli 2013

Cinta Sampai Seratus



   “Waktu aku kecil, aku penganut perkataan ayah. Apa yang ayah bilang, apa yang harus aku percaya. Dan, dia  bilang angka seratus itu banyak, tapi aku malah menangkap angka seratus itu paling banyak, paling makslimal. Makanya, aku gak tahu kalau seratus satu, seratus dua, seribu, sejuta, semilyar itu ternyata ada. Suatu hari ayah tanya, Adila, seberapa banyak kamu sayang sama ayah?” Dia menciptakan hening sebentar setelah meniru gaya ayahnya saat bertanya.

   “Terus, lo jawab apa?” tanya Duta dengan wajah ingin tahu.


   Ayah yang ganteng, aku sayang ayah sampai seratus. Kebesokannya, aku main di rumah Riri, Ehm, temen sebangku waktu SD, dia kelihatan sayaaang banget sama bonekanya, sampai diajak main ke teras, dia minta tiga cangkir teh sama mamanya, satu untuk dia, satu untuk aku, satu lagi untuk bonekanya. Bahkan, dia selalu menganggap bahwa bonekanya itu benar-benar manusia, menganggap ada. Saat itu  juga, aku langsung tanya. Seberapa sayang sih  kamu sama bonekamu?  Tahu dia jawab apa?

   “Enggak.” Duta menggeleng datar.

   Aku sayang sekali sama dia. Disitu aku langsung berekspresi sombong, karena ternyata, sayangnya aku sama ayah lebih besar dari sayangnya dia sama bonekanya. Aku sayang ayah sampai seratus, dia cuma sampai sekali, itu berarti cuma satu kan, Dut?

   “Iya, terus?”

   “Dia tanya balik ke aku. Berarti, kamu kasih teh ke ayah mu sampai seratus, dong? Mendengar pertanyaan dia, muka aku langsung kelihatan konyol, konyol banget deh, malu aku. Soalnya, aku gak pernah kasih ayah teh, padahal saat itu ibu sudah enggak ada, siapa lagi yang mau buatin teh kalau bukan aku? Dari situ, aku percaya deh, kalau cinta dan sayang gak ada batasnya, gak ada angkanya. Yang penting seberapa banyak  kita memberi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar