“Waktu aku kecil, aku penganut perkataan
ayah. Apa yang ayah bilang, apa yang harus aku percaya. Dan, dia bilang angka seratus itu banyak, tapi aku
malah menangkap angka seratus itu paling banyak, paling makslimal. Makanya, aku
gak tahu kalau seratus satu, seratus dua, seribu, sejuta, semilyar itu ternyata
ada. Suatu hari ayah tanya, Adila,
seberapa banyak kamu sayang sama ayah?” Dia menciptakan hening sebentar
setelah meniru gaya ayahnya saat bertanya.
“Terus, lo jawab apa?” tanya Duta dengan
wajah ingin tahu.
“Ayah
yang ganteng, aku sayang ayah sampai seratus. Kebesokannya, aku main di
rumah Riri, Ehm, temen sebangku waktu SD, dia kelihatan sayaaang banget sama
bonekanya, sampai diajak main ke teras, dia minta tiga cangkir teh sama
mamanya, satu untuk dia, satu untuk aku, satu lagi untuk bonekanya. Bahkan, dia
selalu menganggap bahwa bonekanya itu benar-benar manusia, menganggap ada. Saat
itu juga, aku langsung tanya. Seberapa sayang sih kamu sama bonekamu? Tahu dia jawab apa?”
“Enggak.” Duta menggeleng datar.
“Aku
sayang sekali sama dia. Disitu aku langsung berekspresi sombong, karena
ternyata, sayangnya aku sama ayah lebih besar dari sayangnya dia sama
bonekanya. Aku sayang ayah sampai seratus, dia cuma sampai sekali, itu berarti
cuma satu kan, Dut?”
“Iya, terus?”
“Dia tanya balik ke aku. Berarti, kamu kasih teh ke ayah mu sampai
seratus, dong? Mendengar pertanyaan dia, muka aku langsung kelihatan
konyol, konyol banget deh, malu aku. Soalnya, aku gak pernah kasih ayah teh,
padahal saat itu ibu sudah enggak ada, siapa lagi yang mau buatin teh kalau
bukan aku? Dari situ, aku percaya deh, kalau cinta dan sayang gak ada batasnya,
gak ada angkanya. Yang penting seberapa banyak
kita memberi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar