Ayah sudah telat 15 menit. Dan seperti
biasa, dia tidak akan memesan hot
chocolate sebelum ayah datang, karena untuk menjadi gadis berseragam putih
abu-abu yang minum sendiri di café adalah posisi yang paling ia benci, terlalu ketara
kesepiannya, terlalu kelihatan sendu di balik matanya. Ia mulai berpangku dagu,
terheran-heran akan keterlambatan ayah, orang paling disiplin dalam hidupnya.
Segala kemungkinan datang mendekat, bersama mendung yang mulai mengepung
langit.
“Sial!”
gerutunya. Pasti hujan akan datang tidak lama lagi, membawa bunyi gemuruh dan
ribuan pasukan rintik yang akan menyita satu nyawa lagi.
Kebelum-hadiran ayah disini membuatnya
tambah takut. Jangan-jangan ayah yang akan menjadi target hujan selanjutnya. Ah!
Ia benci hujan, si penculik menjijikan itu. Padalah hari ini, hari ulang
tahunnya. Dia cuma bisa berharap, semoga ayah masih ada, semoga ayah datang.
***
“Nona!” Dewa menyeru saat melihat teman
perempuannya jatuh ditumpah sepeda, dengan segera ia meraih tangan kecil itu,
dan membangkitkannya dari tibanan sepeda merah.
“Namaku Ramona, bukan Nona. Kenapa kamu
selalu salah?”
Dewa adalah satu-satunya teman Ramona yang
selalu salah panggil dan tidak pernah berniat membetulkan perkataannya menjadi
nama yang sebenarnya. Saat guru TK-nya bertanya mengapa, Dewa tidak pernah
menjawab.
“Apa kamu berdarah?”
“No!
Hanya sedikit sakit di lututku.”
Sebenarnya, sudah banyak plester yang
menempel di tubuhnya. Pernah satu kali mengakui dengan malu-malu bahwa dia
hunya suka menempel plester untuk main-main, bukan untuk menyembuhkan luka
secara cepat. Agar ayah menobatkan dia sebagai satu-satunya jagoan perempuan di
dunia. Sekarang, Dewa mengerti, mungkin Tuhan sedang memberikan temannya
pelajaran, agar Ramona tahu rasanya sakit yang sebenarnya.
“Papaku bilang, hujan itu baik sama
manusia.”
“Memang papamu masih ada?” Ramona
menunjukkan ceplas-ceplosnya secara spontan.
“Tapi, aku berani swear, saat papa masih disini, papa sering cerita tentang hujan. Kata
dia, jika kita berdoa saat hujan, doa kita akan dikabulkan.”
Seperti biasa, mereka selalu suka
menghabiskan sore di tengah bukit yang mereka namakan sendiri, Bukit Salima. Artinya, Selamat. Jika
ayah dan ibu Salima sedang bertengkar, saat Dewa diminta untuk mencuci kaos
kaki kakaknya, mereka berdua selalu lari ke Bukit Salima, agar selalu selamat
dari proses kabur kilatnya itu. Tapi, saat hujan, mereka akan berlari saling
menggenggam tangan menuju lorong Azura, yang berarti lorong langit biru. Lorong
yang jika diikuti jalannya, akan membawa setiap manusia yang berjalan ke arah ujung lorong menembus pintu
transparan, satu-satunya akses masuk menuju hutan yang dalamnya banyak terdapat
pohon tinggi-tinggi. Tapi, Dewa dan Ramona lebih suka duduk berteduh di bibir
lorong, agar tetap bisa menikmati rerintik hujan yang jatuh suka hati.
“Kalau gitu, kamu mau minta apa?”
“Aku minta jadi Ksatria, Aamiin.” ucapnya
semangat sambil berdoa mengusap wajah dengan dua tangannya.
“Aku mau jadi Barbie, Aamiin.” gaya Ramona mengikuti Ksatria yang lebih dulu
beraksi.
“Memangnya, Ksatria dan Barbie hidup dalam satu alam?” Dewa menatap Ramona dengan mata
haru.
Ksatria hidup di udara dan Barbie hidup di
darat. Jadi artinya?” Ramona mulai memasang tampang ketakutan. Sedikit lagi
pasti dia akan berambut panjang seperti Barbie,
dan Dewa akan menjelma jadi Ksatria berjubah merah.
Bagaimana
ini? Pasti besok tidak ada lagi tukar bekal makan di-TK, tidak lagi ada
yang mengejar Ramona dengan kaki telanjang, tidak ada lagi teman perempuan yang
gemar menempel plester, dan tidak ada
lagi Ramona yang menggemaskan. Buru-buru Ramona memeluk Dewa, yang dipeluk
berusaha mengeratkan, seolah tidak mau dipisahkan. DUARR! Petir menyambar.
Dua anak kecil itu refleks memejamkan mata, mereka tidak mau kehilangan satu
sama lain. Bagi Dewa, Ramona harus tetap disini. Untuk Ramona, Dewa tidak boleh
menghilang. Mereka saling digerogoti doa sendiri. Kenapa tidak minta saja untuk
terus tetap hidup jadi manusia? Biar cinta tetap ada, tanpa harus
dibatas-batasi, antar makhluk, antar daratan dan udara, bahkan antara Ksatria
dan Barbie sekalipun.
Ramona
menyesal, “Jangan pergi, Dewa….”
Ia membuka mata. Dewa tidak ada, sesuatu
dalam pelukannya kosong tak bertulang. Dewa kemana? Kenapa hujan begitu saja
berhenti? Buru-buru kepalanya menembus keluar lorong, mencari sesuatu di
langit, barangkali masih ada sepatu Dewa yang terselip. Tapi ternyata,
barangkali akan selalu tetap menjadi barangkali. Dewa menghilang tak berbekas.
Seperti kuman dalam perut yang begitu saja terhapus saat obat cacing datang
menyerang. Kosong, melompong. Ia menangis, tidak lupa dengan bekal
tersedu-sedu. Sambil mulai membentak hujan.
“Dasar hujan, penculik
menjijikan!”
***
“Selamat ulang tahun, jagoan!” ayah mencium
matanya yang sedari tadi sudah bangun menyambut. “Maaf ayah telat, tiba-tiba
mobil kita mogok di tengah jalan.”
“No
Problem, Ayah.” Ramona berusaha memaafkan, setulus mungkin.
“Untungnya, tadi ayah bertemu dengan anak
laki-laki, seumuran dengan kamu. Kira-kira tingginya segini!” Ayah berseru
sambil mengukur-ukur, tangan kanannya terangkat sedikit lebih tinggi dari
kepala anak semata wayangnya.
“Dia bantu ayah menderek mobil?” Ramona
mulai duduk, mengajak ayahnya untuk tidak lama-lama berdiri karena suasana café mulai ramai, mungkin karena hujan
baru saja selesai.
“Iya, sampai ke bengkel. Untung saja
bengkelnya tidak jauh dari lokasi mogok.”
Ramona memperhatikan rona ayahnya yang
sedikit berbeda, sepertinya anak laki-laki itu begitu memesona.
“Dia tampan, ayah suka suaranya saat
berbicara, sederhana.”
Ramona mulai tertarik mendengar ayahnya
lebih lekat. “Lalu, ayah?”
“Tapi tetap saja, kamu lebih beruntung. Dia
tidak sekolah dan harus bekerja banting tulang demi membantu keluarga. Itupun
kerjanya hanya saat hujan datang, ojek payung.”
“O….” Gadis itu mengangguk prihatin.
“O ya, saat di bengkel tadi, dia kasih ayah
plester, sebagai tanda bahwa kita sudah pernah bertemu.” Ayah terlihat merogoh
sakunya dengan susah payah. “Ini, buat kamu saja. Anggaplah ini kado ulang
tahunmu darinya. Kado dari ayah, nanti malam. We’ll dine on city light, ok?”
Sehabis menerima plester itu, Ramona mencoba
mencerna kalimat ayah barusan, menganggap plester itu sebagai kado ulang tahunnya?
Plester? Satu benda penting yang sembilan tahun lalu sudah berhasil ia buang
semua?
“Sayang, ayah lupa bertanya namanya. Dia
antar ayah sampai ke depan café.”
Pandangan ayah terlempar ke luar jendela, mungkin saja anak laki-laki tadi
masih di luar. “Saat ayah ambil dompet di saku, anak itu menghilang dengan
payungnya. Wah, cepat sekali larinya. Jika bertemu lagi, ayah akan daftarkan
dia ke dalam kompetisi berlari nasional, paling-paling namanya cepat menembus
sebagai juara internasional.”
“Kok dia langsung lari ya, yah?”
“Sepertinya dia sedang buru-buru, di jalan,
dia sempat bilang bahwa dia akan pergi ke toko boneka, mau cari Barbie untuk Nona, sahabat dia yang juga
ulang tahun hari ini. Sama ya seperti kamu?”
Dengan ekspresi tegang, Ramona mengangguk. Ia
masih tidak percaya. Apakah masa lalu dan filosofi tentang hujan yang pernah dia dengar, hanyalah sebatas pretensi untuk kejutan di
hari ini?
“Kita sebut saja dia, Ksatria. Ramona
setuju?”
***
asik ceritanya :)
BalasHapusjangan lupa berkunjung ke blog saya juga ya.
banyak cerita tentang Hujan :)
saya sudah jadi orang ke 7 nih yang follow blog ini :p