Rabu, 12 Juni 2013

Ramona dan Hujan



   Ayah sudah telat 15 menit. Dan seperti biasa, dia tidak akan memesan hot chocolate sebelum ayah datang, karena untuk menjadi gadis berseragam putih abu-abu yang minum sendiri di café adalah posisi yang paling ia benci, terlalu ketara kesepiannya, terlalu kelihatan sendu di balik matanya. Ia mulai berpangku dagu, terheran-heran akan keterlambatan ayah, orang paling disiplin dalam hidupnya. Segala kemungkinan datang mendekat, bersama mendung yang mulai mengepung langit.

   Sial!” gerutunya. Pasti hujan akan datang tidak lama lagi, membawa bunyi gemuruh dan ribuan pasukan rintik yang akan menyita satu nyawa lagi.

   Kebelum-hadiran ayah disini membuatnya tambah takut. Jangan-jangan ayah yang akan menjadi target hujan selanjutnya. Ah! Ia benci hujan, si penculik menjijikan itu. Padalah hari ini, hari ulang tahunnya. Dia cuma bisa berharap, semoga ayah masih ada, semoga ayah datang.


***
   “Nona!” Dewa menyeru saat melihat teman perempuannya jatuh ditumpah sepeda, dengan segera ia meraih tangan kecil itu, dan membangkitkannya dari tibanan sepeda merah.

   “Namaku Ramona, bukan Nona. Kenapa kamu selalu salah?”

   Dewa adalah satu-satunya teman Ramona yang selalu salah panggil dan tidak pernah berniat membetulkan perkataannya menjadi nama yang sebenarnya. Saat guru TK-nya bertanya mengapa, Dewa tidak pernah menjawab.

   “Apa kamu berdarah?”

   No! Hanya sedikit sakit di lututku.”

   Sebenarnya, sudah banyak plester yang menempel di tubuhnya. Pernah satu kali mengakui dengan malu-malu bahwa dia hunya suka menempel plester untuk main-main, bukan untuk menyembuhkan luka secara cepat. Agar ayah menobatkan dia sebagai satu-satunya jagoan perempuan di dunia. Sekarang, Dewa mengerti, mungkin Tuhan sedang memberikan temannya pelajaran, agar Ramona tahu rasanya sakit yang sebenarnya.

   “Papaku bilang, hujan itu baik sama manusia.”

   “Memang papamu masih ada?” Ramona menunjukkan ceplas-ceplosnya secara spontan.

   “Tapi, aku berani swear, saat papa masih disini, papa sering cerita tentang hujan. Kata dia, jika kita berdoa saat hujan, doa kita akan dikabulkan.”

   Seperti biasa, mereka selalu suka menghabiskan sore di tengah bukit yang mereka namakan sendiri, Bukit Salima. Artinya, Selamat. Jika ayah dan ibu Salima sedang bertengkar, saat Dewa diminta untuk mencuci kaos kaki kakaknya, mereka berdua selalu lari ke Bukit Salima, agar selalu selamat dari proses kabur kilatnya itu. Tapi, saat hujan, mereka akan berlari saling menggenggam tangan menuju lorong Azura, yang berarti lorong langit biru. Lorong yang jika diikuti jalannya, akan membawa setiap manusia yang berjalan  ke arah ujung lorong menembus pintu transparan, satu-satunya akses masuk menuju hutan yang dalamnya banyak terdapat pohon tinggi-tinggi. Tapi, Dewa dan Ramona lebih suka duduk berteduh di bibir lorong, agar tetap bisa menikmati rerintik hujan yang jatuh suka hati.

   “Kalau gitu, kamu mau minta apa?”

   “Aku minta jadi Ksatria, Aamiin.” ucapnya semangat sambil berdoa mengusap wajah dengan dua tangannya.

   “Aku mau jadi Barbie, Aamiin.” gaya Ramona mengikuti Ksatria yang lebih dulu beraksi.

   “Memangnya, Ksatria dan Barbie hidup dalam satu alam?” Dewa menatap Ramona dengan mata haru.
   Ksatria hidup di udara dan Barbie hidup di darat. Jadi artinya?” Ramona mulai memasang tampang ketakutan. Sedikit lagi pasti dia akan berambut panjang seperti Barbie, dan Dewa akan menjelma jadi Ksatria berjubah merah.

   Bagaimana ini? Pasti besok tidak ada lagi tukar bekal makan di-TK, tidak lagi ada yang mengejar Ramona dengan kaki telanjang, tidak ada lagi teman perempuan yang gemar  menempel plester, dan tidak ada lagi Ramona yang menggemaskan. Buru-buru Ramona memeluk Dewa, yang dipeluk berusaha mengeratkan, seolah tidak mau dipisahkan. DUARR! Petir menyambar. Dua anak kecil itu refleks memejamkan mata, mereka tidak mau kehilangan satu sama lain. Bagi Dewa, Ramona harus tetap disini. Untuk Ramona, Dewa tidak boleh menghilang. Mereka saling digerogoti doa sendiri. Kenapa tidak minta saja untuk terus tetap hidup jadi manusia? Biar cinta tetap ada, tanpa harus dibatas-batasi, antar makhluk, antar daratan dan udara, bahkan antara Ksatria dan Barbie sekalipun.

   Ramona menyesal, “Jangan pergi, Dewa….”

    Ia membuka mata. Dewa tidak ada, sesuatu dalam pelukannya kosong tak bertulang. Dewa kemana? Kenapa hujan begitu saja berhenti? Buru-buru kepalanya menembus keluar lorong, mencari sesuatu di langit, barangkali masih ada sepatu Dewa yang terselip. Tapi ternyata, barangkali akan selalu tetap menjadi barangkali. Dewa menghilang tak berbekas. Seperti kuman dalam perut yang begitu saja terhapus saat obat cacing datang menyerang. Kosong, melompong. Ia menangis, tidak lupa dengan bekal tersedu-sedu. Sambil mulai membentak hujan.

                   “Dasar hujan, penculik menjijikan!”
***
   “Selamat ulang tahun, jagoan!” ayah mencium matanya yang sedari tadi sudah bangun menyambut. “Maaf ayah telat, tiba-tiba mobil kita mogok di tengah jalan.”

   No Problem, Ayah.” Ramona berusaha memaafkan, setulus mungkin.

   “Untungnya, tadi ayah bertemu dengan anak laki-laki, seumuran dengan kamu. Kira-kira tingginya segini!” Ayah berseru sambil mengukur-ukur, tangan kanannya terangkat sedikit lebih tinggi dari kepala anak semata wayangnya. 

   “Dia bantu ayah menderek mobil?” Ramona mulai duduk, mengajak ayahnya untuk tidak lama-lama berdiri karena suasana café mulai ramai, mungkin karena hujan baru saja selesai.

   “Iya, sampai ke bengkel. Untung saja bengkelnya tidak jauh dari lokasi mogok.”

   Ramona memperhatikan rona ayahnya yang sedikit berbeda, sepertinya anak laki-laki itu begitu memesona.

   “Dia tampan, ayah suka suaranya saat berbicara, sederhana.”

   Ramona mulai tertarik mendengar ayahnya lebih lekat. “Lalu, ayah?”

   “Tapi tetap saja, kamu lebih beruntung. Dia tidak sekolah dan harus bekerja banting tulang demi membantu keluarga. Itupun kerjanya hanya saat hujan datang, ojek payung.”

   “O….” Gadis itu mengangguk prihatin.

   “O ya, saat di bengkel tadi, dia kasih ayah plester, sebagai tanda bahwa kita sudah pernah bertemu.” Ayah terlihat merogoh sakunya dengan susah payah. “Ini, buat kamu saja. Anggaplah ini kado ulang tahunmu darinya. Kado dari ayah, nanti malam. We’ll dine on city light, ok?”

  Sehabis menerima plester itu, Ramona mencoba mencerna kalimat ayah barusan, menganggap plester itu sebagai kado ulang tahunnya? Plester? Satu benda penting yang sembilan tahun lalu sudah berhasil ia buang semua?

  “Sayang, ayah lupa bertanya namanya. Dia antar ayah sampai ke depan café.” Pandangan ayah terlempar ke luar jendela, mungkin saja anak laki-laki tadi masih di luar. “Saat ayah ambil dompet di saku, anak itu menghilang dengan payungnya. Wah, cepat sekali larinya. Jika bertemu lagi, ayah akan daftarkan dia ke dalam kompetisi berlari nasional, paling-paling namanya cepat menembus sebagai juara internasional.” 
   “Kok dia langsung lari ya, yah?”

   “Sepertinya dia sedang buru-buru, di jalan, dia sempat bilang bahwa dia akan pergi ke toko boneka, mau cari Barbie untuk Nona, sahabat dia yang juga ulang tahun hari ini. Sama ya seperti kamu?”

   Dengan ekspresi tegang, Ramona mengangguk. Ia masih tidak percaya. Apakah masa lalu dan filosofi tentang hujan  yang pernah dia dengar,  hanyalah sebatas pretensi untuk kejutan di hari ini?

    “Kita sebut saja dia, Ksatria. Ramona setuju?”
***



1 komentar:

  1. asik ceritanya :)
    jangan lupa berkunjung ke blog saya juga ya.
    banyak cerita tentang Hujan :)

    saya sudah jadi orang ke 7 nih yang follow blog ini :p

    BalasHapus