Kamis, 23 Mei 2013

Satu Pagi Sejuta Memori

Heyhoo, di Jakarta sudah hampir jam tujuh pagi nih!:) Gue bersykur banget karena jendela kamar gue sudah bisa dibuka, meskipun cuma satu dari tiga jendela:" tapi kan setidaknya  hari ini gue bisa menghirup oksigen Jakarta yang mungkin memang (tidak) sesegar di desa. Coba kalau gue lihat yang kemarin-kemarin, setelah shalat subuh, gue lanjut tidur, tapi sekarang bisa nge-blog dong :p jadi bisa say morning juga ke kalian yang gue harap bacanya bukan siang-siang ya.........

                                                   (selamat pagi dari jendela kamar gue :D)


                                                    (satu-satunya jendela yang bisa dibuka)

Bisa dibilang, pagi gue di masa kecil, lebih asyik dibanding masa-masa sekarang ini, bukannya gue gak menghargai, tapi namanya soal perasaan kan gak pernah bisa bohong. So why'd better? Karena dulu, gue masih punya manusia-manusia yang gak ada duanya. Saat ada mereka, khususnya saat hari libur sekolah dan menikmati hari itu dengan mereka di bawah atap yang sama, gue selalu membuka pagi dengan mandi, terkadang, salah satu dari mereka harus maju dengan wajah kapok untuk mandiin gue dengan air hangat yang mereka buat saat masih gelap (Itu saat lagi badmood), lalu melanjutkan pagi dengan menonton orang-orang yang berbondong-bondong ke pasar, karena di sebelah kiri rumah mereka memang ada pasar, walaupun tidak terlalu panjang dan luas, gue selalu excited kalau diajak kesana, karena ibu selalu bilang bahwa di pasar itu, banyak boneka barbie. Pernah juga suatu pagi, entah hari itu hari special menurut mereka atau bukan, yang jelas sepertinya hari itu gak biasa, karena mereka narik gue ke depan radio dan menikmati suara pentas kesenian kethoprak, gue gak ngerti dengan bahasanya karena pementasan itu menggunakan bahasa Jawa, itulah sebabnya sepanjang pementasan gue banyak memotong keasyikan mereka karena harus bertanya-tanya, "Apa artinya, mbah kung?"




Mbah Kung, (asal dari mbah kakung) selalu tertarik untuk kasih hadiah cokelat. Padahal dulu gue gak terlalu suka cokelat, bahkan hingga sekarang. Pernah suatu hari, dia menyembunyikan tangannya di belakang, sebagai cucu yang sering menikmati hari libur sama dia, gue tahu apa yang ada di balik tangannya, begitulah ciri-ciri mbah kung sebelum kasih hadiah cokelat, selalu dengan wajah yang gemetar. Tapi, cuma saat itu, cokelat dia gak sampai ke tangan gue, padahal kalau sekarang gue ingat-ingat, hari itu adalah hari terakhir gue lihat mbah kung menyembunyikan tangannya ke belakang. Gue sedikit sedih, karena bagian paling menyenangkan saat bersama mbah kung justru saat-saat dia mau kasih cokelat ke gue, bukan makan cokelatnya. Biasanya dia kasih tanpa suara dan bibir yang bergerak, hanya menempelkan cokelat itu ke tangan gue, dan dia rasa itu cukup. Sampai sekarang, gue gak mengerti apa yang saat itu membuat mbah kung berhenti menempelkan cokelat ke tangan gue. Segala kemungkinan sering menghantui masa kecil gue, hanya karena hari itu.



Album foto itu yang mengisahkan semua cerita gue, mbah kung, dan mbah uti dari awal, banyak senyum menghias, bahkan gue lebih sering lihat senyum mereka dari foto dibanding ketemu langsung. Dari foto-foto saat gue syukuran sembuh sakit, hari ulang tahun, sampai lebaran keluarga besar. Semuanya ada, antara gue dan mereka, Entah mantra apa yang mereka pakai sampai-sampai setiap pagi datang, cuma ada mereka di kepala gue, cuma ada dua wajah yang terbayang-bayang. Mereka yang pertama kali buat gue sadar tentang betapa lengkapnya hidup seorang audi, tapi mereka juga yang buat gue sadar kalau di setiap pertemuan pasti ada perpisahan, gak bisa cuma pertemuan aja. Mbah kung adalah orang pertama yang pergi tanpa pamit dalam hidup gue, dan gue cuma salah satu dari sekian banyaknya orang yang kehilangan dia.

Sampai saatnya gue benar-benar mengerti, ketika mbah uti juga ikut pergi selang beberapa tahun setelah mbah kung. Gue tahu ini hal biasa, juga tahu ini perpisahan biasa. Antara yang meninggalkan dan ditinggalkan. Tapi semuanya gak cukup bisa diterima dalam satu hentakan kaki, butuh banyak waktu untuk menghargai semua yang ada, karena satu pagi berarti jutaan memori. Ruang yang dulu pernah kita lewatin bareng-bareng sekarang kosong, gak ada lagi paksaan mandi, gak ada lagi suruhan untuk berhenti bermain barbie dan tidur karena sudah jam sembilan malam. Gak ada lagi, dan gak akan pernah gue dengar lagi.

Gue sering dengar orang bilang, Setiap apa yang Tuhan ambil darimu, akan diganti dengan yang lebih baik. Gue selalu bergeming tiap dengar kalimat itu, apa ada lagi yang lebih baik dari orang sebaik mereka? Apa yang kurang dari mereka? Kalaupun gue dapat pengganti yang lebih baik, pasti gue akan kehilangan mereka lagi kan? Katanya, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Sejak saat itu, gue gak pernah buka pintu setiap ada orang baru yang mau masuk ke dalam kehidupan gue, karena satu-satunya hal yang paling gue takutin di dunia itu cuma kehilangan, gak ada lagi.

Tapi ternyata benar kalau ada orang bilang bahwa waktu adalah obat penenang, gue gak butuh obat yang manjur-manjur  banget, gue gak butuh ngelupain masa lalu gue dan mereka, karena memang gak pernah bisa. Melupakan memang hal tersulit, tapi soal menerima? Itu lebih berat, karena mau gak mau, kita harus menerima, apapun itu.

Sekarang gue sudah bukan anak kecil lagi, yang roknya udah bukan diatas lutut, dan gue harap, mereka diizinkan untuk melihat gue,

Untuk mbah kung, coba belajar berani dalam memberikan kejutan. Kamu yang membuat aku jadi tidak suka kejutan, lho. Tanggung jawab ya...



1 komentar:

  1. Blog kamu bagus :)
    keep posting ya :)

    Ini blog aku :
    http://kubukakubaca.blogspot.com

    BalasHapus