Pagi. Pagi yang bermandikan cahaya malam, dengan
langit yang penuh dengan kunang-kunang. Seperti biasa, dan mungkin dalam dunia
ini akan selalu seperti biasa. Dunia yang tak kenal waktu, tak kenal batas.
Swistien, gadis 17 tahun itu mencoba lagi menerangi
kamar redupnya, dengan menggenggam tali yang mengikat lampion kecil. Api dalam
lampion itu berwarna biru, warna birunya mengandung sebuah arti. Entah apa?
Swistien tak pernah menyuarakannya.
Ia masih saja berjalan dengan ditemani
lampion itu, berjalan menelusuri lorong kamarnya, namun tertiba Ia berhenti.
Matanya menatap sesuatu yang bersinar-sinar. Dalam celah-celah halaman buku
yang terlpat, dengan pancaran yang berbinar, Ia menghampiri cepat buku itu
sambil menempelkan tangan kanan ke dadanya. Dengan singkat, Ia berada dihadapan
buku dengan cover berwarna ungu tua. Ia duduk dan mulai membuka halaman
pertamanya. Tertiba muncul sebuah tulisan menari-nari dengan eloknya. Lalu
membentuk suatu kalimat bernama “MEMOIR” dihalaman itu. Ia tersenyum, matanya
kembali berbinar.
Pagi yang redup menghentakkan langit-langit menuju
siang. Siang yang mendung, yang mulai melahirkan rintik-rintik hujan. Swistien
melangkahkan kakinya yang semakin melari, menghindari cipratan halus air hujan.
Tangannya mendekap erat gaun pesta yang telah rampung ia jahit, lalu gaun itu
harus diantarkan menuju rumah Camela, menurut catatan hariannya dalam memoir,
hari ini Ia harus mengirimkan bahan itu sesegera mungkin, karena esok Camela
akan merayakan pesta besar. Ya, pesta ulang tahunnya. Ulang tahun yang genap
menjadi 18 tahun, 18 tahun yang istimewa. 18 tahun, hari dimana Camela akan
segera terlepas dari sistem demensia. Sistem dimana semua anak berumur dibawah
18 tahun didunia kelam itu, akan mengalami sebuah kelupaan dengan apa yang
terjadi di hari kemarin. Jika tak mau celaka, semua anak-anak itu harus
mencatat berbagai hal penting atau tak penting dalam buku memoir masing-masing.
Sedikit asing memang, tapi begitulah adanya.
Swistien akhirnya menemukan tempat berteduh.
Dilihatnya, tempat itu memungkinkan dia untuk sekedar menjauhi rerintikan air
hujan. Namun, sesuatu yang membuatnya ragu adalah ada seorang lelaki yang
sedang sibuk membaca sebuah buku tua disana. Mau tak mau, ia menghela napas lalu melanjutkan
langkahnya ke tempat itu.
Lelaki itu menoleh pada Swistien, namun dengan
tatapan yang tak biasa. Swistien mencoba untuk sekedar mengembangkan senyumnya.
Walau ada sedikit rasa yang janggal. Lalu meneruskan langkahnya menuju kursi
panjang, dan duduk disebelah lelaki itu.
“Rey…” sapa lelaki itu sambil mengulurkan tangan
kanannya
“s..s swistien” Balas Swistien sambil membalas
uluran tangan yang sedikit bergetar
“kayaknya kamu takut sama hujan..” ucap Rey
“sedikit sih, soalnya aku juga lagi bawa gaun,
takut basah. Ini kan buat
moment penting.” jawabnya
“Oh ya? Gaun untuk siapa?”
“Ya… lebih tepatnya untuk seorang wanita yang akan
segera terlepas dari kekejaman demensia.”
“emangnya demensia seserem apa sih…?” Tanya rey.
“lho? Kamu belum pernah ngerasain?” Tanya swistien kembali.
“Pernah lah pasti, tapi.. baru sadar aja, kalo
sebenernya, demensia gak seserem yang kamu pikirin.”
“hahaha, mungkin…” terdengar swistien dengan tawa
kecilnya.
“aku baru ketemu loh, cewek kayak kamu..”
“haha, emangnya aku kayak gimana?”
Rey berdiri dari duduknya, lalu melangkah kecil,
melempar pandangannya kearah langit yang mulai meredakan rerintikan air
hujannya.
“Beda, kamu tuh cewek ceria, dikit-dikit senyum,
ketawa. Tapi..”
“Tapi?”
“Tapi kayaknya kamu kurang beruntung..”
“Aku makin gak ngerti deh Rey..”
“Gak perlu ngerti sekarang sih, mungkin suatu
hari..”
Swistien hanya tersenyum heran mendengarnya.
“Kamu mau anter gaun? Hujannya udah mulai reda,
gimana kalo aku anter pake sepeda?”
Wajah Swistien memerah seketika, ia
sedikit menunduk. Lalu mengangguk.
Kelamnya hari ini berubah seketika, saat Rey dan
Swistien melewati jalan-jalan setapak diatas roda-roda sepeda yang mereka naiki
bersama, sepanjang jalan wajah Swistien semakin tersipu. Awan-awan seolah tahu,
seolah mengerti bahwa hari ini cinta pertama Swistien datang. Benar-benar
datang.
“Hey Swistien, kok diem aja sih? Gak tidur kan?”
“Gak kok Rey, aku Cuma gak nyangka aja, bisa
ketemu cowok kayak kamu didunia ini.”
“Iya dong. Cowok tuh harus kayak gini haha”
Mendengarnya Swistien langsung mencubit pinggang
Rey
“Aduh, sakit tau”
“HAHAHA”
Tawa mereka bersama seolah memecah langit
sore, lalu meruntuhkan kunang-kunang diatas sana.
“Tok… tok…tok” terdengar suara ketukan kepalan
tangan Rey
“heyhooo… Camela?”
Terdengar suara balasan dari dalam rumah
“heyhoo, tunggu sebentar ya”
Tiba-tiba, pintu kayu itu terbuka perlahan, dan
terlihatlah wajah anggun Camela.
“Heyhoo cam? Ini gaunnya.. semoga kamu suka ya.”
“Wah? Aku yakin aku pasti suka kok Swistien hmm kamu sama siapa?”
“Kenalin, aku Rey..”
ucap Rey menyambut Camela
“Hi Rey, aku Camela…
“
“Ngomong-ngomong,
besok ulang tahun ya?” Tanya Rey
“Loh, tau dari mana rey?”
“Cowok sejati pasti tau lah :D”
Mendengarnya, Swistien sedikit memundurkan
langkahnya, matanya berkaca-kaca, Ia tak tahu dengan apa yang ada dalam
benaknya.
“Rey, Camela. Aku pulang duluan ya? Aku harus
selesai bahan-bahan yang masih numpuk di rumah” ucap Camela dengan wajah lesu
“Tunggu Swistien, mending aku anter aja ya?”
“Iya swies, daripada nanti hujan lagi” kata Camela
menyusul
Swistien mengangguk, serpihan kerapuhan hatinya
mulai tersusun seperti semula.
“Yaudah kalo gitu, sukses buat besok ya Cam”
“Iya, jangan lupa datang loh” kata Camela
sambil melambaikan tangannya
“Huf.. makasih banget ya Rey, buat hari ini” Kata
Swistien sembari turun dari sepeda Rey
“Sama-sama Swistien,”
Swistien langsung berbalik arah menuju rumah,
Langkahnya memang pelan, tapi wajahnya amat sangat berbunga-bunga. Seperti ada
rasa baru yang hadir. Entah apa, mungkin cinta.
“Swistien…” Panggil Rey
Langkah Swistien terhenti, tanpa menoleh ia
menjawab
“ Ya?”
“Kamu cantik hari ini”
Swistien langsung menoleh dengan wajah yang
semakin memerah, namun Rey langsung mengayuh sepedanya dengan cepat, menjauh
dari rumah Swistien.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar