Jumat, 16 November 2012
Tentang Kita diKolong Langit 1
Kita memandangi langit sore yang mulai meredup sambil tertawa ramai. Tubuh kita terbujur tenang menghadap langit. Burung-burung gereja mulai berdatangan satu persatu, sambil bernyanyi-nyanyi. Iramanya seperti lagu tahun 90-an. Telunjukku mengangkat, bola matamu mengikuti. Seolah ingin tahu apa yang akan aku tunjukkan.
"Yang gue liat, bentuk awan itu beda sama yang lain" kataku tenang
Nelwan hanya tersenyum mendengarnya
Aku beranjak bangun, untuk duduk. Nelwan mengikuti, Lalu aku segera meraih pena di saku ku. Dan aku meraih telapak tangannya yang sedari tadi mengepal, lalu membalikkannya. Selanjutnya, aku melukiskan burung merpati yang sedang tertidur disana.
"Ini apa sha?" Tanya Nelwan heran
"Merpati" balasku sambil tetap melukis di telapak tangannya
"Iya tau, lo Kan cuma bisa buat merpati tidur. Maksudnya buat apa?" Lanjutnya bertanya
"Nanti juga tau" jawabku singkat lagi
Keningnya mengkerut dan bertanya "kapan?"
"kapanpun lo mau" jawabku
"lo makin gak jelas!" Seru Nelwan
"Cep, nanti juga jelas sendiri. Sipp udah selesai nih merpatinya" kataku sambil menghempaskan tangannya
"Kapan lo gambar merpatinya jadi terbang, kapan dia bangun?" Tanya Nelwan dengan nada serius. Pandangan matanya juga terfokus memandang kedua bola mataku.
Seperti ada sekilas petir yang menyambar, menyambar sampai menembus langit yang bergemuruh. Aku terdiam, sampai-sampai terpaku. Mulutku membatu. Tapi pikiranku terus memutarkan sebilah pertanyaan yang cukup sulit untuk menyuarakan jawabannya.
"Kok bengong? Kapan?" Tanya Nelwan yang kedua kalinya
Bagaimana aku bisa membuka mulutku? Untuk sekedar menjawab atau mengalihkan pertanyaan kejam, jika mulutku membatu, pita suaraku terikat mati. Suaraku hanya terdengar dalam diriku. Hanya aku dan dunia ku yang bisa mendengar, bukan dunianya.
"Apa perlu gue tanya burung yang sekarang ada ditangan gue? Ok. Segera"
Nelwan diam, dan melanjutkan pertanyaannya "heh burung! Kapan lo bakal bangun? Kapan lo bakal terbang?"
DUARRR!! petir yang sedari tadi membara bara diimajinasiku, kini benar-benar menjerit di atap langit.
Nelwan mendongakkan kepalanya ke langit, seraya memasang tampang khawatir.
"Sampe kapan lo Mau diem terus sih? Dikit lagi malem tau gak? Udah mendung lagi, gak mungkin Kan kita terus disini?" Tanya Nelwan heran
Aku tetap diam. Membisu. Bahkan melumpuh. Melihat keadaanku yang terus seperti ini, Nelwan bangun, tangan kirinya merangkul leherku. Sedangkan pasangannya mengangkat kakiku dari bawah, lalu ia berjalan membawaku, langkahnya tergopoh gopoh, hujan semakin menderas, sehingga aku tidak bisa melihat air matanya yang terjatuh. Walau aku sudah tau bahwa ia menangis, perasaanku yang bilang begitu. Aku yakin orang lain yang melihat kita sekarang, pasti langsung teringat tentang dongeng yang menceritakan seorang pangeran tampan yang sedang menggendong cinderellanya. Sangat yakin. Walaupun mereka di kayangan, dan kita di kolong langit, tapi tetap saja perasaan asing dihati kita tetap bercermin pada hati mereka.
Tunggu! rerintikan hujan datang perlahan, lalu menderas bak air terjun yang membasahi beberapa batu yang tak bernyawa.
Hujan? Mengapa harus datang? Aku takut pangeranku kedinginan, sedangkan tanganku tak lagi bernyawa untuk merangkulnya, menghangatkannya, ada satu hal lagi yang paling aku takutkan. Tapi sudahlah.
******
Ayah Said dan Ibu Riana berlari tegang dengan wajah penuh haru, tak tahu jelas dimana pelarian mereka akan berhenti, mulut mereka terkadang bersuara, nadanya seperti sepotong pertanyaan kepada beberapa orang yang berada disekelilingnya. Ragam warna warni bau obat menusuk kedua lobang hidung mereka. Tapi tak perlu dihiraukan, toh mereka amat sangat membutuhkan kerja sama dari obat obat itu. Tertiba langkah mereka berhenti gemetar. Seorang wanita muda, berkerudung merah muda, dengan jas putih yang dikenakannya berada dihadapan mereka dengan stetoschop yang masih menggantung dileher.
"Bagaimana keadaan Nelwan? Dia sudah bangun dok?" Tanya ayah said dengan suara bergoyang.
Dokter cantik itu mengembangkan senyum manisnya dan berbisik pelan,
"Semua seperti biasa, mungkin kita akan berbicara didalam ruangan saya" kata dokter itu
ayah said dan ibu riana, mengikuti langkah dokter dari belakang, sambil tertunduk lesu.
disisi lain, ada tujuh remaja yang terlihat seumuran dengan Nelwan, 15 tahun.
Mereka sama-sama memasang tampang khawatir, dengan langkah yang tergagap gagap mereka sampai dimeja informasi
"Kamar 105 blok kencana!" Seru Viona pada pria muda dibalik meja informasi
******
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar