Senin, 10 September 2012

Luna Sudah Tidur by Me


Gadis 16 tahun itu terus berlari dengan kencangnya. Sedikit lagi jarak nya akan tertempuh menuju sekolah. Dia tahu dia telat, maka teruslah dia berlari, berusaha mengurangi kelemahannya.
                                                                     ***
Sebenarnya, Dia gadis yang amat rajin. Pagi ini pukul 05:30 Ia sudah duduk tenang di bangku sekolahnya, matanya memandang ke segala arah di penjuru seisi sekolah, namun seketika matanya menemukan Iyon, kekasihnya yang berjalan cepat dengan wajah yang penuh kecemasan dari koridor sekolah. Luna pun mengambil langkah bangun dan berlari mendekat kearah Iyon.

“Selamat pagi yon ” Sapa Delaluna

“Eh Lun, untung aja kamu dateng, PR aku ketinggalan nih, daripada basa basi mending kamu cepet lari kerumah aku, terus minta PR sama bi Ratna, PR nya ada dikamar aku” pintanya tanpa menjawab sapaan Luna

Dengan wajah tersenyum Luna menjawab “Siap yon, tapi syaratnya kamu harus tenang ya. Jangan khawatir, aku pasti bakal bawa PR kamu

“alaah, jangan banyak basi-basi, udah sana!” seru Iyon.

Lunapun memulai langkahnya dengan berlari. Sesekali berhenti saat menemukan dua jalan pilihan sembari mengingat-ingat. Niatnya satu, hanya tak ingin membuat kekasihnya itu cemas dan kecewa. Niatnya satu, hanya ingin membuat Iyon tersenyum, selagi dia masih disisinya.

Langkahnya memang tak ada halangan, semua berjalan begitu tenang, dengan berlari kecil dan melempar pandangan kearah manapun. Namun itu sebelum datangnya sebuah rerintikkan, rerintikkan gerimis yang mulai menciptkan titik-titik air yang terciprat di seragam sekolah Luna. Tak sedikitpun langkahnya berhenti, Ia mulai merelakan seragamnya yang basah daripada harus kehilangan senyum Iyon.

“Yaampun non, minggir dulu di warung sini, hujannya mulai deres atuh…” tawar seorang Ibu umur 40an 

“gapapa bu” teriak Luna sambil meneruskan langkahnya.

Langkah lari nya mengantarkannya menuju jalan raya yang mulai dipadati oleh kendaraan mobil, sedangkan motor-motor , banyak yang merayap di trotoar. Matanya sibuk mencari celah untuk menembus jalan yang penuh kemacetan ini. Tak ketemu. Ia pun memulai tingkah bodohnya. Tingkah bodoh yang sering Ia lihat dalam adegan di teve, yakni berjalan diatas atap atap mobil yang berjejer terbaris. Memejamkan matanya sembari berdoa, lalu memulai aksinya, niatnya satu agar Iyon tetap tersenyum.

Permukaan atap mobil yang licin akibat air hujan yang masih menderas, membuat Luna sedikit kesulitan, orang yang berada dibawahnya mulai memasang tampang bingung dengan suara aneh yang ada diatasnya.
Tapi akhirnya, Ia sampai juga pada atap mobil terdepan. Semua dibekali oleh doa dan niatnya yang ingin selalu membuat Iyon tersenyum.
                                                                        ****
Hujan belum juga reda, tapi Ia masih bisa mengingat letak rumah Iyon. Seingatnya rumah Iyon adalah rumah ber-cat cokelat bernomor 26. Sekarang Ia berada di depan rumah nomor 19. Baiklah, Ia terus melangkah melewati 6 rumah. Hingga benar-benar sampai di rumah bernomor 26. Dengan takut-takut, Ia ketuk pintu rumah itu. Ketukannya sedikit gemetar. Mungkin karena kedinginan.
Pintu terbuka, dibaliknya Nampak wajah wanita dengan milyaran kesinisan. Seketika keadaan menggaring karena Luna merasa takut untuk membuka mulut. Wanita dengan wajah sinis itupun menutup pintunya kembali. 

Dengan rasa kaget, Luna kembali mengetuk pintunya lebih keras sambil berteriak

“Saya adik kelasnya Iy.. eh Kak Iyon, mau ambil buku PR kak Iyon yang ketinggalan”

Pintu kayu itu terbuka lagi. Tapi isi dibaliknya berbeda. Nampak wanita yang tak muda lagi dengan alunan senyumnya sambil menyerahkan buku tulis bersampul merah, sepertinya itu yang dimaksud buku PR Iyon.

“terima kasih bu” ucapku sambil meraih tangan wanita itu untuk salim
                                                                     *****
Gadis 16 tahun itu terus berlari dengan kencangnya. Sedikit lagi jarak nya akan tertempuh menuju sekolah. Dia tahu dia telat, maka teruslah dia berlari, berusaha mengurangi kelemahannya.
Ia sampai didepan gerbang yang tertutup rapat. Pertanda jam pelajaran sudah serentak dimulai. Dengan wajah memerah Luna mendekatkan matanya ke lobang kecil dekat pintu gerbang.
HAP! Matanya menagkan sebuah bola mata yang juga sedang mengintip ke lobang itu.

“Yaampun pak Edy, bikin kaget aja”

“Delaluna bukannya udah dateng tadi?” Tanya pak Eddy, security sekolah dari balik gerbang itu

“Iya pak, tapi saya tadi baru ambil buku PR nya Iyon”

“Wanita zaman sekarang….” Jawab Pak Eddy menjauh dari gerbang itu

“Pak…pak tolong pak, bapak boleh gak mempersilahkan saya masuk, tapi mohon pak, kasih buku ini ke Iyon..”

Pak Eddy pun mengambil buku PR itu yang diselipkan di celah kecil yang menempel pada tembok sebelah gerbang.
                                                                    ****
Sekarang ia sendiri lagi, didalam hujan deras yang mulai mereda. Kedua lengannya saling memeluk tubuh menggigilnya itu. Wajahnya pucat pasi, bibrnya membiru, rambut-rambutnya yang basah mulai lepek. Seragamnya masih basah dicampuri dengan bercak cipratan lumpur. Ia terduduk diatas tanah, dipinggir trotoar. Otaknya sedang terus memikirkan, apakah buku PR itu sampai pada tangan Iyon? Ia takut jika sebaliknya.

Banyak orang yang menoleh ke arahnya, ada beberapa yang memasang wajah kasihan, namun ada beberapa lagi dengan tampang yang sinis. Menyadarinya, Luna berusaha bangun, namun rasa dingin yang maha dahsyatnya membuat tubuhnya seakan membeku, sulit rasanya untuk memecahkan kebekuan itu, Ia sekarang semakin membatu, mulai Nampak darah yang menerjun dari kedua lobang hidungnya. Hanya niatan membuat Iyon tersenyum yang kini menemaninya
                                                                 *****
Suasana pagi memulai harinya kembali, hari ini semua PR terselesaikan dirumah. Tak juga ada satupun yang tertinggal. Semua berjalan tenang kembali, tapi dirinya masih menunggu kekasih gelapnya itu di bangku kantin, sudah 5 menit Luna telat absen. Sapaannya belum juga terdengar di telinga Iyon. Rasa kecewa dan kesal mulai menggores-gores perasaannya. Tangannya mengepal, Ingin segera ia daratkan di wajah Luna, agar Luna tahu diri. 

“Selamat pagi Iyon..” sapa luna dengan wajah pucat sambil membawa satu buah gelas berisi minuman favorit Iyon

“PLAKKK!!!” sampai juga kepalan tangan itu ke pipi Luna,
Air mata luna yang meretakkan kepucatannya terjatuh begitu saja, tanpa suara, tanpa tanda-tanda.

“Iyon, aku minta maaf, jangan marah” mohon Luna

“udah cukup ya Lun, kamu buat aku marah, kemarin buku PR aku telat dateng gara-gara kamu dan itu buat aku telat rapat osis buat bikin topic mading, dan gara-gara itu juga mading masih sepi kayak hari sebelumnya, kamu emang gak beda dari cewek pembawa sial, selalu jadi penyebab dibelakangnya mading sepi”

“Yon, aku khilaf. Tapi please senyum…. jangan marah, ini aku bawa milkshake taburan keju, kamu belum minum ini kan?” ucap Luna dengan suara goyang

Semua mata murid murid dan penjual di kantin memerhatikan kejadian yang sering terjadi itu. Ada beberapa yang sembari berbisik.

Alice mengelap darah yang keluar lagi dari lobang hidung Luna. Batinnya menahan ocehan Sandy yang terus bergerayangan.

“Lun, udah cukup ya. Satu-satu nya cara lo harus putusin Iyon, gue gak mau lo ter….” 

“Sandy cukup!” seru Alice.

 “Luna lagi gak butuh nasehat lo, dia butuh istirahat, kalo lo sayang sama sahabat lo mending keluar!” lanjutnya

Sandy memundurkan langkahnya, lalu keluar sambil membanting pintu.

“Lun, lo tau kan Alice sayang banget sama Luna, kalo ada apa-apa cerita sama Alice ya Lun…” ucap Alice sambil memeluk Luna dengan begitu eratnya

“udah… soal Iyon gak usah dipikirin, gak usah dengerin kata orang lain, Iyon sayang kok sama lo” lanjutnya lagi
Seorang Delaluna tersenyum lagi sambil berkata lembut 

“Terimakasih ya Lice, gue sayang lo” Jawabnya sambil membalas pelukan Alice

                                “kriiiiiiiiiiingggg…” Bel tanda istirahat berbunyi.

Luna mencoba untuk bangun dari duduk lemahnya

“Luna jangan keluar dulu…” larang Alice

“Tapi nanti Iyon marah lagi, kasian dia”

“Luna… Iyon ngerti kok”

“Tapi gue mau liat senyum Iyon”

“Oke, tapi gue anter”
*****
“eh tuh dia Luna, seumur hidup belum pernah dapet pacar cakep kali ya, sekalinya dapet gak mau dilepas sampe biru biru gitu mukanya.. Hahahaha” ledek Riana, ketua osis yang juga menggemari Iyon

Luna berusaha menebalkan wajahnya, seolah tak pernah mendengar kalimat busuk itu sambil meneruskan langkahnya, menarik tangan Alice yang hampir ingin mengeluarkan amarahnya pada Riana

“Kak Luna…” panggil Shania, adik kelasnya

“Hey Shan…” balasnya

“kakak kok pucet banget? Denger-denger tadi abis ditampar kak Iyon ya kak? Emang kakak salah apa? Kakak kan orangnya baik, mending tuh kak, kakak pu…”

“eehh Shania, gue sama Luna mau ke kantin dulu ya Byee…” ucap Alice sambil meninggalkan Shania, yang wajahnya mulai menciut
                                                                     *****

Rabu. Rabu pagi yang kelam. Tak terlihat sebatang hidungpun di ruang osis, begitu pula dikantin, Semua ramai berbisik didepan mading sekolah. Iyon berlari kecil menghampiri mading itu. Begitu sampai, tak seorang murid pun menyingkir memberi celah untuk Iyon lewat, mulut mereka mennyuarakan sesuatu yang tak jelas, namun sepertinya haru, lalu tiba tiba Iyon dikagetkan oleh seseorang yang menyentuh pundaknya secara tiba tiba. Ia menoleh. Sandy rupanya…, dengan tangan yang menggenggam selembar kertas yang ditimbuni goresan tinta hitam.

“paan nih san?” Tanya Iyon heran sambil mengambil kertas itu

“baca aja, “ ucapnya lalu meninggalkan Iyon

“Hey Iyon ku sayaaaang, selamat pagi ;D
Gimana? Kamu udah dapet pesenan milkshake taburan kejunya belum? Atau justru udah kamu minum? Hehe. Maaf ya, pagi ini aku gak bisa pesenin minuman berharga itu buat kamu. Ohya yon, kamu udah liat mading belum? Mading nya rame gak yon? Kalo bener rame, itu surprise loh yon buat kamu, kan kamu bilang aku selalu jadi penyebab sepinya mading, sekarang itu adalah pengganti semua tindakkan bodoh aku yang sering buat kamu kecewa, tapi yon satu yang harus kamu tau, aku itu tulus bantu kamu, walaupun bisa dibilang, ketulusan aku itu terposisikan diatas cibiran anak anak sekolah kita yang selalu bilang kalo aku satu-satunya cewek oon yang mau aja diperbudak sama kamu, trus mereka bilang aku selalu dibohongin kammu, ada juga yang bilang kalo aku takut kehilangan kamu, Cuma karena kamu cakep dan tenar. Kamu percaya kan kalo mereka itu salah, lagipula kamu kan bilang kalo kamu cinta sama aku, sedangkan cinta gak pernah bohong, maka itu aku gak pernah mau kehilangan kamu yon, cinta itu kan asalnya dari aku, kamu dan hati kita yon, bukan dari mereka, ya kan yon? Yon, aku tau hari ini aku pasti bakal buat kamu lebih dari kecewa karena aku gak bias ketemu sama kamu, abis yon, hari ini aku ngerasa ngantuuuuk banget, dan aku itu Cuma mau tidur, tidur dan tidur, nanti jangan lupa yaa dateng kemimpi aku.
Salam cinta,
Delaluna

Begitulah isi surat yang Iyon baca, Ia kembali mengepalkan tangannya, wajahnya memerah, Yang ada dipikirannya hanya satu, Ia ingin mendaratkan kepalan tangannya yang keras itu ke pipi Luna, Ia ingin membuat Luna semakin tahu diri.

Tanpa berpikir panjang, Iyon langsung memanfaatkan pintu gerbang sekolah yang terbuka lebar untuk keluar, mengantarkan jalannya menuju rumah Luna, untuk segera menampar wajah Luna yang semakin mempermainkan dirinya. Ia segera keluar, meninggalkan suasana redup sekolah yang tadinya sangat Ia heran-herankan.

Ia berlari secepat mungkin, napasnya berubah menjadi kembang tempis, telinganya seperti mengeluarkan asap asap emosi, bibirnya termaju merapat, yang ia niatkan hanya satu yaitu membuat Luna tahu diri, sangat berbeda bukan dengan niat Luna saat itu, saat Ia rela menembus air air hujan dengan derasnya dengan milyaran dorongan yang mengandung satu niat yaitu membuat Iyon tersenyum. Haha, alangkah lucunya mereka, sempat meneteskan rasa iba yang begitu mendalam untuk Luna, namun rasa iba itu berbalik seketika menjadi rasa benci pada Iyon saat melihat usaha geramnya hanya untuk menampar Luna.
Langkahnya semakin melari, tak perduli dengan apa yang dilihat orang terhadap dirinya, Namun tertiba pandangannya tersudut pada banyak orang yang menunduk lesu disekitar rumah Luna, banyak isak tangis yang menggema-gema, Hati Iyon menciut seketika, wajah emosi yang dahsyat meredup seketika, pupil matanya membesar seperti baru saja dihadapi oleh sebongkah gelap gulita, Langkahnya mengecil, kecepatannya berkurang, lama-lama ia berjalan dengan langkah yang tak sama sekali terisi energy, Ia berubah seketika seperti seorang lelaki yang tak bermandikan cahaya, oksigen, makan dan minum dalam kurun waktu yang amat sangat lama. Apalagi dengan degup jantungnya saat benar-benar berada didepan rumah Luna, Yang semakin memukul, seperti seorang ksatria yang memukul dan menginjak injak suatu bendungan, amat berdegup dahsyat. Yang terbayang dibola matanya kini adalah bendera kuning yang tertiup rerapuhan angin, langkahnya semakin memaju walaupun gontai,

“Iyon!” panggil Alice dengan kerudung hitamnya 

Iyon tak menjawab, namun Alice menghampiri

“bilang apa lo sama dia yon? BILANG APA? Lo udah biarin sahabat gue mati sebelum dia tau SIAPA ELO!” Tanya Alice dengan luapan emosi dan secercah air mata

Semua orang menoleh melihat kejadian geram itu, namun Sandy datang tiba-tiba, mencoba meredupkan emosi Alice

“Lice… lice liat situasi lice, lo boleh marah sama dia, tapi jangan disini, kasian Luna” ucap Sandy sedikit berbisik sambil menuntun Alice menjauh dari Iyon.

Sekarang, rerintikan hujan yang dua hari lalu membasahi Luna, datang lagi untuk membasahi Iyon, Ia masih berdiri di posisi semula, air matanya hampir tak terlihat, namun Ia benar benar menangis sambil menunjukkan matanya yang meretak merah. Ia berdiri sendiri didepan teras rumah Luna, sambil mengingat ingat hari kemarin, saat gadis itu selalu menyapa Iyon dengan cerianya, selalu mengatakan hal yang tak pernah dikatakan oleh beribu wanita yang diselingkuhinya, selalu mengantarkan minuman favorite layaknya bidadari kayangan yang selalu setia melayani,
Suara beberapa orang yang mengaji masih terdengar dari dalam rumah, namun masih juga ada yang menyelimuti tangisan kecil, Iyon masih belum berani menatap Luna untuk yang terakhir kalinya, namun kertas surat dari Luna masih digenggamnya, walau sudah basah, Ia mengangkat kertas itu dengan hati yang merapuh, dilapisan kertas itu terbayang wajah Luna yang tersenyum sambil berkata “Senyumlah Iyon”

Delaluna, gadis berbeda itu, kini sudah benar-benar tidur…

1 komentar: