Mungkin karbondioksida yang baru keluar dari hidung Lilian masih merasa kesal, karena lama sekali ia menahannya di dalam, akibat semua organ tubuhnya yang ramai-ramai ikut membantu mata berkonsentrasi dan meresapi pertunjukkan tubuh Ahmad, akhirnya karbondioksida berbisik ke oksigen yang tak punya telinga, ke oksigen yang sedang melurus antre sebelum memasuki hidung gadis itu, oksigen setuju dengan karbondioksida, akhirnya mereka serempak mengeluarkan aroma gula manis dengan menembus epidermisnya masing-masing. Satu semut kecil yang sedang menjelajah di atas bangku taman akhirnya tertarik mendaki tubuh duduk Lilian, ingin mencari-cari asal aroma gula manis itu, dengan radar yang sudah menguat sejak pukul enam tadi. Hentakan kaki sang semut sesekali melindas rambut-rambut yang ada di atas kulit Lilian, membuat bola mata Lilian berpindah arah. Karbondioksida mulai merasa puas, misinya berhasil. Tangan kiri mulai mengangkat, membantu ibu jari dan jari tengah hendak menyentil semut kecil itu, tapi tuan hati menahan, bola mata juga setuju, mereka berdua menahan tangan kiri. Menurut mata, semut itu manis dan kesepian, menurut hati, semut itu tidak sedikitpun mengganggu Lilian. Jadi, untuk apa disentil? Sentilan adalah hukuman terberat untuk dunia persemutan, kasihan kata hati. Karena terlanjur jatuh cinta, mata terus menatap semut yang sedang asyik menjelajah, dengan rela hati mendaki-daki tubuh Lilian untuk menemukan rasa gula manis itu. Sekarang, langkahnya telah sampai di sela-sela jari kanan, di antara jari manis dan kelingking, sambil bersenandung dengan suaranya yang melengking, ia terus mengerling.
Dimana gula itu ya? Aku akan membawanya pulang untuk ibu.
Lilian melumat habis rasa geli yang mulai muncul, tapi semut itu terlalu manis untuk disingkirkan.
Teruslah berjalan-jalan, akan kuserahkan tangan ini, kapanpun kau mau.
Menurut semut itu, tangan Lilian begitu halus dan berbeda dari bagian tubuh orang-orang lain yang dulu pernah ia injak, anggota tubuh pertama yang membantunya belajar berjalan adalah rambut seorang model shampoo, jika keseimbangannya kacau, tangannya memegang sehelai rambut erat-erat, membayangkan dirinya sehebat tarzan, saat sudah mulai lancar berjalan, semut itu mulai mencoba bertahan di atas ibu jari kaki kanan seorang paman yang sedang berlari mencari keponakannya. Hingga berdirilah semut itu disaat dirinya merasa sudah mahir berjalan-jalan mengelilingi tubuh manusia, di masa-masa sekarang ini.
Aku adalah semut terhebat, berjalan-jalan di atas tangan yang sehalus salju.
Lilian terus memandang gemas semut itu, ia mulai berjalan menuju punggung tangan, lucu berkali-kali.
Padahal tidak ada gula, kulitku bening, bukan hitam dan bukan manis. Mengapa kamu terlihat seperti mencari-cari? Baiklah, kamu bernama Simanis, sekarang.
Simanis. Mungkin bila raja semut mendengar, ia akan segera membunuh semut kecil itu, karena nasib Simanis lebih manis daripada dirinya yang sinis. Diberi nama sebegitu manis tidak seperti dirinya yang bernama Kronis.
Andai aku mengetahui nama wanita ini. Simanis mulai berandai-andai.
Simanis, aku begitu gemas denganmu, tapi karena ukuran kita begitu jauh berbeda. Ini jadi hal tersulit untuk aku dan kamu saling mengenali, saling mendengar, saling berbicara, apalagi saling bersahabat. Kamu tahu kan aku sedang sendiri? Ini keselaluan. Aku selalu sendiri.
Simanis, semut kecil itu memulai lagi langkahnya, menuju pergelangan tangan Lilian. Mungkin, aku terlalu kecil untuk mencintai makhluk yang sebesar manusia.
Mereka tidak saling mendengar, tidak juga saling melihat. Padahal cinta mulai tumbuh, dan beberapa menit lagi akan mekar. Kisah paling sedih antara semut dan manusia. Bersatu, namun tidak dapat saling berteman. Langkah Simanis tersendat, aroma gula manis itu lenyap, sekarang tujuannya berganti, bukan lagi mencari aroma itu, tapi mencari wajah wanita ini yang sebenarnya, bagaimana rupanya?
Jika sedikit saja aku menyentuhmu, mungkin kamu akan lenyap dari tanganku. Kata Lilian.
Jika sedikit saja aku menyerah, badanku habis kena sentilanmu. Kata Simanis.
Tiba-tiba, langkah Simanis terhenti. Pada saat yang sama, tempat itu berguncang, sekolah Lilian berguncang hebat, murid-murid dari dalam kelas berhamburan serentak, dahsyat. Lilian bangun dari bangku taman sekolah yang sudah bergetar keras, semua wajah menjelma jadi wujud yang amat panik.
"GEMPA... GEMPA!"
Tidak ada yang berjalan, semuanya berlari. Simanis mengeluarkan energinya keras-keras, ia bertahan pada rambut di kulit Lilian, untung saja bertahan di atas ibu jari kaki seorang paman yang sedang berlari mencari keponakannya sudah menjadi pengalaman, ia jadi merasa percaya diri bahwa tangan wanita ini akan terus menjadi rumahnya. Meski saat ini, semua kemustahilan datang menerobos masuk dalam perasaannya. Simanis mulai tersenyum kegirangan, ia masih jadi semut terhebat, meski wanita ini (Lilian) sedang panik pergi kemana.
Lilian masih berlari, sesekali matanya memandang Simanis yang masih saja bertahan di pergelangan tangannya. Semut kecil itu membuat dirinya kuat, menghindari guncangan dahsyat bernama gempa. Bangunan lantai satu gedung sekolah begitu saja roboh setelah beberapa retakan terdengar, Lilian hampir menangis, hampir. Melihat dinding berdiri yang mulai retak, padahal lima belas menit lalu masih berdiri dengan gagahnya. Tidak tahu lagi dimana harus berlindung.
"Di koridor macet, anak-anak mencoba menerobos gerbang dengan memanjat, karena gerbang sekolah terkunci."
"Siapa yang pegang kunci?"
"Pak Abdul, tidak tahu dimana sekarang."
Begitulah percakapan antara Guru Agama Islam dan Guru Bahasa Indonesia yang memberhentikan langkah Lilian. Tangis histeris berkerumun. Aspal di lapangan mulai retak, seolah akan terbelah, Lilian cepat-cepat berlari, sambil menatap pergelangan tangannya yang masih diinjak Simanis.
Tetap bertahan disitu, Aku akan menjagamu.
Tidak sampai sepuluh detik, kaki Lilian tersandung sesuatu keras yang membuat tubuhnya terpental jauh dan terperosok ke sebuah lubang yang sepertinya terbentuk akibat retakan tadi, keningnya terbentur kerikil, membuat dirinya sedikit takut untuk membuka mata, karena di dalam lubang ini, guncangan semakin dahsyat.
"Tolong!" Lilian mendengar sesuatu, dengan sedikit rintihan ia menoleh ke samping kiri, ternyata lubang ini menurun, ia belum sampai dasar, ada seseorang di dalam sana, ia segera menjulurkan tangannya ke arah kiri.
"Kamu di sana?" Tanya Lilian mencoba memastikan.
"Ya... Tidak ada oksigen. Sesak!."
Ia rasa postur tubuhnya yang besar cukup kuat untuk membantu seseorang bersuara laki-laki itu, walau guncangan semakin dahsyat, ia mencoba menyeimbangkan.
"Aku disini, genggam tanganku."
Tangan dari bawah menggapai pergelangan tangannya, lalu menggenggamnya erat. Tidak! Simanis tergencet tangan lelaki itu, Simanis mati. Sementara Lilian terus mencoba menarik tubuhnya ke belakang dan terus berdoa supaya energinya belum habis dan masih kuat. Kuat sekuat tenaga. Gempa semakin menjadi-jadi, suara hentakan kaki yang berlari dari atas terus terdengar, namun lelaki itu tak kunjung keluar dari lubang dasar.
"Kenapa diam? Ayo keluar dari sini."
Nafas yang tersengal-sengal terdengar cepat dan tidak beraturan, genggaman tangan lelaki itu semakin melemah, "Asma ku kambuh..."
"No! Kamu harus kuat."
"Enggak bisa, Lilian."
Lilian berusaha mengumpulkan energinya lekat-lekat, "Kamu tahu namaku?"
"Aku Ahmad."
"Ahmad!" Lilian tambah emosi, ia tarik Ahmad sekuat tenaganya, namun sepertinya ada sesuatu yang mengganjal, entah batu atau apa, Ahmad begitu sulit untuk keluar, dia terjebak. Yang jelas kalau Ahmad mati sekarang, Lilian akan menyesal dan berhenti makan, karena percuma makan banyak kalau tenaga saja tidak ada untuk menggapai Ahmad, lelaki yang tiga tahun belakangan ini ia kagumi.
"Lilian, aku gak kuat."
"Aku percaya kamu kuat." Dia berkonsentrasi, meski oksigen di sekitarnya mulai menipis untuk dihirup bagi dua orang yang sedang tersesat dalam lubang gelap. Sementara guncangan saja tetap ada dan tidak berkurang sedikitpun.
"Ahhhh!" Ia mencoba lagi usaha kerasnya, dan tidak sia-sia, pundah Ahmad mulai terlihat. "Ayo, Ahmad! Kamu bisa."
"Eng..g..gak, Lil..."
Air matanya jatuh, Ahmad tidak boleh mati sekarang, karena Ahmad belum tahu bahwa ia begitu mencintainya.
"A.. a.. ku. Aku cinta kamu." Tangis Lilian menjadi-jadi dalam lubang yang semakin sempit, ia takut dirinya habis dijepit tanah. Semakin sesak.
"Ahhhhhhhhhhhhh!" Tubuh Ahmad berhasil keluar dari lubang dasar, wajahnya penuh goresan merah, telinganya berdarah.
Spontan Lilian memeluk Ahmad erat, masih di dalam lubang, dan masih di bawah guncangan dahsyat. Sepertinya tinggal mereka berdua yang masih berada dalam lingkungan sekolah, karena tidak lagi terdengar teriakkan histeris.
"Aku disini, Ahmad." Bisik Lilian dengan air mata yang berlinangan, berharap Ahmad bisa tenang, walau asmanya masih kambuh.
"Aku bisa mati, Lil."
"Kamu bisa mati, tapi gak sekarang." Pelukan Lilian semakin erat."Jangan takut, aku disini."
"Kamu jan.. ji, kit..a bis.. bisaa..a sel..a..mat..?" Tanya Ahmad ditengah-tengah asmanya.
"Iya. Kita pasti selamat." Lilian berbisik seraya mencium mata Ahmad. Meski sedikit menyesal, karena Simanis sudah tidak disini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar