Selasa, 27 November 2012
Satu Jam dari Tuhan
Pukul enam belas pas untuk Senin ini, hanya berhasil membuatnya terus berjalan dengan berlari. Shalat Ashar tak lagi berputar-putar dalam pasar ramai pikirannya. Namun sekarang hanya satu.Cukup satu. Adhelin.
Kau tau?
Mureno berlari, lelah.
Mureno berlari di gerbong tiga, stasiun kota Jakarta
Mureno berlari untuk menuliskan kata-kata tak suci dari kursus pagi yang diikutinya
Mureno berlari, teruntuk gadis bermata indah itu,
Adhelin juga berlari, namun tak lelah
Adhelin juga berlari, namun dipikirannya
Adhelin juga berlari, namun tetap terdiam
Adhelin juga berlari, teruntuk menunggu hal yang tak harus diketahuinya.
Kereta yang tlah diyakini akan membawanya cepat sampai, datang. Ia duduk, masih terengah-engah. Masih dengan Adhelin dibulat bola matanya.Tak sedikit yang memandang penuh keraguan dan milyaran risau yang tergantung dalam wajahnya. Walau redup, itu jelas.
Begitu sampai, ia berlari (lagi) namun lebih cepat.. berlari lurus dan berbelok kearah kiri, lalu lurus, dan sampailah Ia pada sebuah tempat yang akan mempertemukannya dengan sebatang pensil dan secarik kertas. Untuk Adhelin.
Semalam aku bermimpi, buruk.
Ada sosok bermata merah, berambut tebal sedikit gelombang, dan jari-jari bercak merah darah.
Ia datang, buruk-buruk menghampiriku, menarik kerah bajuku, membuang jauh kaca mataku
Aku lunglai lalu, tak bisa membayangkan betapa putihnya bibir atas dan bawah ini
Anjing hutan itu datang. Yang dulu membuat mati ibuku
Nyatanya dia yang menerkamku..
Membuatku lebih dari sekadar mati
Dan itu artinya
Aku tlah tiada
Aku tlah berbeda. Denganmu tentunya
Berbeda dunia.
Dan mati dengan surat usang ini ditangan, untukmu
Aku setengah berlari, demi cepat sampai.
Tuhan kasih satu jam. Untuk kalimat perpisahan ini, Adhelin
Kepergianku tak membuat rasa ini menghilang satu milipun.
Walau terpisah, aku tetap menjadi aku
Dan kamu akan tetap disini..
Selamat tinggal,
lelaki butamu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar